Pandemi dan Meningkatnya Jumlah Orang dengan Gangguan Jiwa

0
937
Orang dengan gangguan jiwa menunggu tes sampel swab COVID-19 di panti sosial di Jakarta, 23 Agustus 2021. (REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes Celestinus Eigya Munthe, mengatakan situasi pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan gangguan kesehatan mental berupa depresi hingga sembilan persen.

“Kita melihat ada peningkatan gangguan masalah kesehatan akibat depresi dan anxietas yang dalam penelitiannya mempunyai gambaran sekitar 6-9 persen untuk depresi dan anxietas yang artinya terjadi juga suatu kecenderungan peningkatan akibat depresi dalam masalah bunuh diri,” ungkapnya dalam telekonferensi pers “Hari Kesehatan Jiwa Sedunia Tahun 2021” di Jakarta, Rabu (6/10).

Situasi tersebut, lanjutnya diperparah dengan semakin sulitnya masyarakat untuk mengakses pelayanaan kesehatan jiwa karena masalah ekonomi. Kemenkes mencatat ada 24 juta tenaga kerja dari sektor informal di tanah air yang harus kehilangan pekerjaan akibat pandemi COVID-19.

Berdasarkan laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Mental Health Action Plan tahun 2013-2030, ujarnya disebutkan khususnya negara berkembang harus memperbaiki perencanaan pelayanan kesehatan mental dengan baik. Hal ini karena sebanyak 80 persen negara-negara berkembang masih belum memiliki perencanaan pelayanan kesehatan jiwa yang baik, kemudian sebanyak 50 persen negara berkembang belum memenuhi aspek hak asasi manusia (HAM) dalam mempraktekkan pelayanan kesehatan jiwa. Maka dari itu, Indonesia, kata Celestinus, menargetkan 20 persen orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat akan mendapatkan pelayanan kesehatan mental di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan pada 2022 mendatang.

“Dan kita juga akan mengupayakan dalam tahun 2022 angka bunuh diri menurun 10 persen, serta kita akan membuat suatu sistem dalam upaya mengumpulkan data terhadap indikator kesehatan jiwa,” tuturnya.

Tantangan Berat

Dalam mewujudkan target itu, Celestinus mengakui ada berbagai kendala, yakni di antaranya tingkat prevalensi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Indonesia yang cukup tinggi di mana satu dari lima penduduk atau 20 persen populasi di tanah air berpotensi mengalami masalah gangguan kesehatan mental.

Selanjutnya, sampai detik ini belum semua provinsi memiliki fasilitas rumah sakit jiwa yang mengakibatkan adanya kesenjangan pengobatan antara satu daerah dengan daerah lainnya, stigma negatif dan diskriminasi dari masyarakat kepada ODGJ, serta masih terbatasnya tenaga kesehatan jiwa yang tersedia.

“Sampai hari ini jumlah psikiater sebagai tenaga profesional untuk pelayanan kesehatan jiwa kita hanya mempunyai 1.053 orang. Artinya satu psikiater melayani sekitar 250 ribu penduduk, ini suatu beban yang besar dalam upaya meningkatkan layanan kesehatan jiwa di Indonesia,” katanya.

Akses Pelayanan Kesehatan Jiwa Sampai ke Akar Rumput

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan mental di tengah masyarakat, pemerintah pun menempuh beberapa langkah yakni fokus pemulihan ODGJ, mengupayakan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan ODGJ, mengupayakan partisipasi aktif berbasis masyarakat, kemitraan dan pemberdayaan bagi ODGJ agar kelak tetap dapat produktif meskipun mengalami gangguan kesehatan jiwa serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat sampai ke akar rumput mulai dari puskesmas.

“Pada saat ini terdapat sekitar 10 ribu puskesmas di seluruh Indonesia dan baru 6.000 puskesmas yang memberikan layanan kesehatan jiwa. Untuk itu kita akan mengupayakan agar puskesmas di seluruh Indonesia dapat memberikan layanan kesehatan jiwa sehingga seluruh lapisan masyarakat dapat pelayanan kesehatan jiwa di saat mereka membutuhkannya. Untuk itu kita mengupayakan strategi peningkatan kompetensi tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan di tingkat pertama di puskesmas yang ada agar dapat memberikan pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat di puskesmas. Kita juga akan mengupayakan agar obat-obat untuk masalah kesehatan jiwa selalu tersedia di fasilitas puskesmas,” jelasnya.

Kemenkes, kata Celestinus, juga akan memperkuat layanan telemedicine untuk melayani masyarakat yang memiliki masalah gangguan kesehatan jiwa. Dengan semakin berkembangnya teknologi ini diharapkan bisa menyiasati berbagai keterbatasan sarana dan prasarana untuk menunjang dan mendukung pelayananan kesehatan jiwa ini.

“Jadi dengan menggunakan teknologi digital yang saat ini ada, kita mengharapkan keterbatasan SDM, tenaga kesehatan jiwa, dapat disiasati dengan menggunakan teknologi yang ada yaitu telemedicine dalam memberikan konsultasi dan pendampingan bagi puskesmas yang memberikan pelayanan kesehatan jiwa di tengah masyarakat,” pungkasnya.

Perspektif Masyarakat

Psikolog Yayasan Pulih Ika Putri Dewi mengatakan, pemerintah harus lebih menyosialisasikan tentang pentingnya kesehatan jiwa kepada masyarakat. Pasalnya, masih banyak yang menganggap sepele hal tersebut.

“Tetapi lebih mendasar lagi memang perspektif tentang kesehatan jiwa ini belum dianggap sama pentingnya dengan kesehatan fisik oleh masyarakat awam sehingga memang yang masih perlu didorong justru adalah bagaimana mensosialisasikan bahwa manusia utuh itu (harus sehat) fisik dan mental dan dua-duanya sama-sama harus punya porsi yang sama untuk dirawat, tidak cuma merawat kesehatan fisik tetapi (juga) merawat kesehatan mental, karena kita tahu gangguan kesehatan mental itu sifatnya gradual, bertahap, sedikit demi sedikit dari ringan sampai serius, kalau tidak ditangani,”ungkapnya kepada VOA.

Meski begitu, ia melihat dengan adanya kondisi pandemi COVID-19 justru semakin banyak masyarakat yang lebih memperhatikan kesehatan mentalnya. Bahkan, ia berujar banyak kalangan anak muda yang datang ke puskesmas untuk memeriksakan layanan kesehatan mental tanpa rujukan. Ini artinya sudah ada kesadaran untuk merawat dirinya sendiri apabila memang dirasa telah mengalami gangguan kesehatan mental.

Selain itu, ia mengapresiasi langkah pemerintah untuk memperluas cakupan layanan kesehatan mental khususnya untuk tingkat primer atau puskesmas karena memang hal tersebut masih kurang. Sebagai langkah preventif, ia berharap pihak Kemenkes bisa bekerja sama dengan Kemendikbud Ristek untuk menyediakan kurikulum yang berbasis kesehatan jiwa.

“Kalau misalnya ada pendidikan jasmani olah raga, ini juga perlu adanya kurikulum untuk kesehatan mental misalnya cara merawat diri. Jadi kebiasaan seperti itu ditanamkan sejak dini, diberikan awareness seperti itu termasuk kalau sekolah jangkauannya bisa ke anak, ke orang tua, itu bisa jadi cara menanamkan kebiasaan untuk care sama kesehatan mental kita, dan memang musti dari sedini mungkin,” pungkasnya.

(VOA)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here