Djoko Tjandra Bayar Rp 7 Miliar Agar Nama Hilang dari Red Notice

0
812
Red notice dari Interpol

Tim Divisi Hukum Mabes Polri menyampaikan kronologi kasus suap yang dilakukan oleh Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte. Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri itu diduga menerima suap untuk menghapuskan red notice terhadap Djoko Tjandra.

Menurut Divisi Hukum Mabes Polri, kejadian bermula saat tersangka lain dalam kasus ini, Tommy Sumardi datang ke ruangan Napoleon pada 13 April 2020. Pertemuan dilakukan untuk membicarakan red notice.

“Setelah menerima Tommy Sumardi, pemohon memerintahkan saksi KBP. Thomas Arya untuk mengadakan rapat yang dilakukan tanpa undangan dan notulen rapat,” ujar tim Divisi Hukum Mabes Polri dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 29 September 2020.

Setelah rapat, Irjen Napoleon disebut menerbitkan Berita Faksimile ke Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan Kejaksaan Agung RI. Faksimile yang ditandatangani pada 14 April 2020 memiliki nomor surat NCB-DivHI/Fax/529/IV/2020 perihal konfirmasi status red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan.

“Faksimile tanggal 14 April 2020 inilah yang mengawali terjadinya tindak pidana tersebut, dikarenakan pemohon selaku Kadiv Hubinter jelas-jelas mengetahui bahwa pada 2019 red notice atas nama Joko Soegiarto Tjandra sudah expired, karena Divhubiter terkoneksi dengan system di Lyon Perancis,” ujar Tim Divisi Hukum.

Selain itu, lanjut Tim Divisi Hukum Mabes Polri, red notice Joko Tjandra memang sudah di-grounded pada tahun 2014. Mabes Polri lantas menanyakan mengapa Napoleon secara khusus menanyakan perkara Djoko Tjandra, dan tidak mengurus red notice yang lainnya. Mereka lantas menyimpulkan bahwa faksimile 14 April itu merupakan inisiatif pribadi dari Napoleon yang tidak berkaitan dengan tugas dan kepentingannya sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri.

“Kemudian pada 16 April 2020, Saudari Anna Boentaran (istri Joko Tjandra) diskemakan membuat surat permohonan kepada pemohon perihal permohonan pencabutan Interpol Red Notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra,” kata Tim Divisi Hukum.

Dengan dalil surat permohonan itu, Napoleon disebut menerbitkan surat-surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham. Justru di sinilah, ujar Tim Divisi Hukum Mabes Polri, terbuka konsistensi Napoleon untuk membantu secara pribadi Joko Tjandra.

Tim Divisi Hukum Mabes Polri kemudian menyatakan bahwa dari April hingga Mei 2020, Tommy Sumardi menyerahkan uang Rp 7 miliar kepada Napoleon secara bertahap. Uang tersebut diberikan dalam bentuk Dolar Amerika Serikat dan Dolar Singapura.

“Perbuatan pemohon pada akhimya dalam angka memberikan prestasi atas suap yang diterimanya adalah berdasarkan Surat Kadiv Hubinter kepada Dirjen Imigrasi u.p Dirwasdakim Nomor: 1036/V/2020/NCB Div HI tanggal 5 Mei 2020 bertujuan menguntungkan pihak Djoko Soegiarto Tjandra alias Joe Chan.,”

Napoleon dijerat dengan Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 KUHP.

Tidak terima atas penetapannya sebagai tersangka, Napoleon mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengacara Napoleon menyebut penetapan tersangka itu cacat hukum. Mereka yakin bahwa Mabes Polri tidak memiliki barang bukti.

“Pemohon juga meyakini bahwa termohon belum dapat memenuhi alat bukti yang cukup sebagaimana Pasal 184 ayat 1 KUHP apabila dikaitkan dengan pasal-pasal tindak pidana yang disangkakan kepada pemohon,” ujar pengacara Napoleon, Putri Maya Rumanti saat membacakan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 28 September 2020.

(Tmp)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here