Rommel, Jenderal Hebat yang Dipaksa Bunuh Diri

0
243
Replika wajah Jenderal Rommel

BarisanBerita.com,- “Ayah sudah katakan pada ibumu, nak. Ayah akan mati lima belas menit lagi,” ujar Manfred Rommel, putra Jenderal Erwin Rommel, menirukan kata-kata terakhir ayahnya.

Jenderal Rommel, Komandan Militer Nazi di Afrika Utara, telah menunjukan kesetiannya pada Hitler. Tapi dia berubah arah dan kemudian melawan sang pemimpin ketika Dia melihat Jerman akan kalah.

Jenderal Rommel semasa hidup

Pada 14 Oktober dua jenderal senior mendatangi kediaman Rommel untuk menyampaikan pesan “penugasan” di masa depan. Putra Rommel menggambarkan hari-hari terakhir ayahnya.

Pukul 12.00 sebuah mobil berwarna hijau gelap dengan plat nomer Berlin memasuki halaman rumah Rommel. Lalu dua orang keluar dari kendaraan itu. Dua jenderal—Burgdorp seorang jenderal berkuasa penuh serta Maisell—jenderal dengan perawakan tinggi dan langsing. Mereka dengan sopan meminta untuk bertemu Jenderal Rommel secara pribadi. Ajudan ayah, Kapten Aldinger dan saya akhirnya meninggalkan ruangan.

Upacara militer pelepasan jenazah Rommel

Beberapa menit kemudian ayah menaiki tangga menuju ruangan ibu. Penasaran dengan apa yang terjadi, saya mengikuti ayah. Di tengah ruangan, wajah ayah terlihat pucat.

“Ikut ayah ke luar nak,” katanya dengan suara tegang. Kami ke ruangan saya. “Aku sudah bicara dengan ibumu,” katanya perlahan. “Ayah tak lama lagi di dunia ini. Dalam lima belas menit ke depan ayah sudah mati,” masih dengan tenang ayah melanjutkan.”Rumah kita sudah dikepung anak buah Hitler dengan tuduhan bahwa ayah telah berkhianat.”

“Ayah diberi pilihan dihadapkan ke pangadilan atau mati dengan meminum racun. Dua jenderal itu membawa racun. Racun yang sangat fatal. Dalam tiga detik langsung mematikan. Jika ayah menerima pilihan itu, maka mereka tak akan menganggu keluarga ini,” kata Rommel pada anaknya.

Saya potong omongan ayah.”Bukankah kita bisa melawan…” namun ayah menyela.

“Percuma nak,” katanya.” Lebih baik satu orang mati daripada mati semuanya. Lagi pula kita tak punya senjata.”

Setelah itu kami berpisah, tapi sebelumnya ayah memintaku untuk memanggil ajudan. “Panggil Aldinger,” pintanya. Tak lama kemudian Aldinger datang dengan tergesa-gesa. Ajudan ayah terlihat kaku dan terkejut usai mendengar penjelasan atasannya itu.

Ayah kemudian berbicara dengan nada cepat. “Semua sudah disiapkan dengan mendetil. Saya akan diberi pemakaman secara resmi dari negara. Dalam lima belas menit, kau Aldinger akan menerima telepon dari rumah sakit, yang menyatakan bahwa saya terkena serangan otak saat menuju konferensi.”

Ayah menatap jam tangannya. “Saya harus pergi. Mereka hanya memberi waktu sepuluh menit.”

Kami ke bawah. Saya menemani ayah memakai jaket kulitnya dan keluar menuju taman. Dua jenderal sudah menunggunya. Kami berjalan pelan-pelan di atas jalan setapak. Suasana terasa tidak biasanya, terdengar derak pepohonan begitu berisik dari biasanya.

Mobil sudah siap ketika ayah datang. Seorang tentara SS membuka pintu. Dengan wajah tenang ayah masuk ke dalam dan bersalaman pada Aldinger dan saya untuk terakhir kalinya. Dua jenderal yang menantinya segera masuk. Setelah itu ayah tak menatap kami lagi. Lalu mobil pun menuju balik bukit dan kemudian menghilang.

Aldinger dan saya lalu menuju ke rumah. “Saya sebaiknya bertemu ibumu,” kata Aldinger. Saya menuju ke atas menunggu panggilan telepon yang dijanjikan. Semua orang yang ada di rumah itu terlihat muram.

Dua puluh menit kemudian telepon berbunyi. Aldinger mengangkatnya, kemudian memberitahu bahwa rumah sakit melaporkan kematian ayah. Malamnya kami menuju rumah sakit. Dokter yang menerima kami dengan tampilan “tak sehat”. Terlihat kecurigaan si dokter atas penyebab kematian ayah. Kami kemudian diajak ke sebuah ruangan kecil. Tubuh ayah terbaring di sana dengan seragam coklat militernya. Wajah ayah terlihat geram.

Di kemudian hari kami diberitahu bahwa ada banyak pasukan Nazi mengintai dari balik bukit yang mengitari rumah kami. Mereka diperintahkan untuk menembak mati ayah jika melakukan perlawanan.

Lalu saya juga diberitahu ketika ayah sampai di “lokasi”, jenderal Missel bersama sopir keluar dari mobil. Tinggal ayah bersama Jenderal Burgdorf yang ada di dalam mobil. Saat sopir diizinkan masuk ke mobil, dia melihat ayah terlungkup dan topinya terlepas. Tongkat panglimanya pun terjatuh dari genggaman.

Mobil yang membawa jasad ayah kemudian dibawa menuju rumah sakit. Setelah itu Jenderal Burgdorf melapor ke Hitler tentang kematian ayah saya—Jenderal Rommel.

Namun, ada cerita yang memuakan dari sikap sejumlah pejabat pemerintah saat ayah meninggal, apalagi mereka sebenarnya sudah tahu tentang penyebab kematian ayah. Mereka berpura-pura bersimpati, seperti ungkapan duka cita yang mereka sampaikan untuk ibu saya:

16 Oktober 1944: Terimalah rasa simpati saya atas kehilangan yang begitu mendalam dengan meninggalnya suami anda.

“Nama suami anda, Panglima Rommel akan selamanya dihubungkan dengan peperangan yang penuh kepahlawanan di Afrika Utara.”

(DM/Bobby, Diazz)