Tuhan, Kapan Semua Ini Berakhir?

0
556
Petugas pemakaman beristirahat usai memakamkan sejumlah jenazah dengan protokol COVID-19 di TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta, Minggu (4/7/2021). Antara Foto

Jakarta, BarisanBerita.com,- Semua bertanya kapan semua ini berakhir? Pandemik yang sudah lebih dari satu tahun ini mengikis rasa sabar dan terus melipatgandakan kesedihan.

Pandemik virus covid-19 juga membuat mereka yang menjadi tenaga kesehatan hingga tenaga pemakaman nyaris kehabisan tenaga untuk menjalankan tugasnya.

Kasus kematian yang melejit membuat tim pemulasaraan jenazah kewalahan. Di DKI Jakarta, pengurusan jenazah di rumah-rumah harus mengantre.

Di Yogyakarta, puluhan jenazah Covid-19 berjajar menunggu giliran diurus, sementara masih ada jenazah lain yang berderet di ruang IGD. Adapun di Kota Cimahi, Jawa Barat, anggota keluarga jenazah terpaksa rela menanti belasan jam mengantre pemakaman.

Penuturan sejumlah narasumber di lapangan menguatkan pemaparan koalisi warga LaporCovid-19. Berdasarkan himpunan data LaporCovid19, dari awal Juni hingga Selasa, (06/07), terdapat sekitar 324 orang meninggal dunia karena ‘terpaksa’ melakukan isolasi mandiri akibat rumah sakit penuh.

Wirawan bertutur panjang mengenai kondisi yang harus dia hadapi beberapa pekan ke belakang. Sehari-hari, dia bekerja sebagai anggota Tim Pemulasaraan Jenazah Covid-19 di DKI Jakarta.

“Kita mau masuk rumah sakit, susah. Kita mau masuk kuburan (sekarang), juga susah,” ujarnya.

Beberapa kali Wirawan harus menyaksikan tubuh jenazah yang akan diurus sudah terbujur kaku. Beberapa dalam kondisi mengenaskan. Itu karena hampir setiap jenazah pengidap Covid-19 yang meninggal dalam isolasi mandiri di rumah, tidak bisa segera mendapat penanganan.

Pemulasaraan jenazah-jenazah itu masuk ke daftar antrean mengingat sedemikian banyaknya permintaan.

“Yang melaporkan biasanya tetangganya, ‘Kok orang ini nggak keluar-keluar, lagi isoman’. Begitu dilihat sudah nggak ada [meninggal], lapor ke kami. Kami tiba di sana, [jenazah] sudah kaku. Rata-rata seperti itu sekarang kondisinya,” cerita Wirawan kepada wartawan Nurika Manan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (08/07).

Berderetnya jenazah yang harus dipulasarakan merupakan imbas dari peningkatan angka kematian di luar fasilitas kesehatan seiring lonjakan kasus Covid sejak Juni 2021 lalu.

Bulan-bulan sebelumnya, Wirawan biasanya menerima permintaan pemulasaraan dua hingga tiga jenazah dalam sehari. Tapi kini timnya bisa menyusun daftar antrean hingga 24 jenazah dalam sehari.

Kondisi tersebut membuat Wirawan dan kawan-kawan kewalahan. Rentetan laporan warga tak sebanding dengan daya timnya yang beranggotakan kurang dari 10 orang.

“Sehari hanya sanggup paling tinggi itu 18 (jenazah). Berangkat dari jam delapan pagi atau setengah sembilan lah, pulang sudah subuh. Pagi baru balik ke posko lagi,” ungkap bapak dua anak tersebut.

Saban hari ada satu tim pemulasaraan yang harus mondar-mandir menyisir keberadaan jenazah dari satu rumah ke rumah lain di seluruh wilayah Ibu Kota. Pengurusan dilakukan berdasarkan nomor antrean pelaporan.

“Yang jadi kendala, jaraknya jauh, dari Jakarta pusat ke timur, dari timur ke utara, jauh jangkauannya,” tutur Wirawan.

Itulah yang kadang membuat jenazah terpaksa menunggu berjam-jam untuk mendapat giliran pemulasaraan. Jika subuh tiba namun masih ada antrean, maka pengurusannya bakal dialihkan ke keesokan harinya.

Tak jarang saat sampai di lokasi, Wirawan mendapati jenazah yang masuk antrean sudah meninggal dunia lebih dari sehari.

“Kita kan juga nggak tahu. Kita terima beritanya (laporannya) sekarang, kita meluncur ke sana kan sesuai antrean. Sampai di sana kita nggak tahu kalau kondisinya sudah seperti itu—sudah meninggal berapa hari yang lalu,” ungkap pria yang puluhan tahun terbiasa mengurus jenazah tersebut.

“Jadi meninggalnya juga kadang-kadang nggak ketahuan jam berapa. Jenazahnya itu, istilahnya, ya sudah lewat dari 24 jam baru dilaporkan ke kami,” lanjut dia.

Wirawan merasa getir ketika tak bisa bergegas mengurus satu per satu jenazah. Tapi dia pun tak mampu berbuat banyak mengingat keterbatasan daya.

“Pikiran saya sih sekarang, kapan ini bisa berakhir. Karena kasihan juga melihat saudara-saudara kita, yang hidup, dalam keadaan sakit. Mau masuk ke rumah sakit juga susah karena rumah sakit semua penuh,” tutur dia.

“Sementara yang meninggal pun kondisinya seperti itu, mau masuk kuburan susah. Mau pemulasaraan antre. Itu yang jadi pikiran saya, kapan bisa berakhir?” sambung Wirawan lagi.

(BBS/Bobby)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here