Mengapa jilbab Memainkan Peran Sentral di Iran?

0
1002
Wanita Iran wajib berkerudung, meski mereka tetap berusaha mengikuti model baju yang bernuansa kebarat-baratan.

Pada tahun 1983, parlemen Iran memutuskan bahwa perempuan yang tidak menutupi rambutnya di muka umum akan dihukum dengan 74 cambukan. Sejak tahun 1995, perempuan yang tidak berjilbab juga bisa dipenjara hingga 60 hari.

Bagi Shahram Karami, jaksa penuntut di Kota Kermanshah, Iran barat, seorang perempuan yang menunjukkan rambutnya dalam sebuah iklan mode adalah tindakan “tidak bermoral”. Akibatnya, dia memerintahkan otoritas keamanan dan peradilan untuk mengejar semua individu yang terlibat dalam produksi dan distribusi video iklan yang menampilkan perempuan tanpa hijab. Lembaga penyiaran berbahasa Persia di AS, Radio Farda, melaporkan bahwa empat orang telah ditahan sehubungan dengan video klip itu.

Aksi penangkapan tersebut memperjelas tekad rezim di Iran untuk menegakkan aturan berpakaian konservatif yang ketat bagi perempuan. Dari perspektif pemerintah, menegakkan seperangkat aturan ini sama saja dengan kepentingan nasional Iran. Semenjak revolusi Islam 1979, peran perempuan dalam masyarakat merupakan pilar inti dari ideologi negara Iran.

Gagasan Khomeini tentang perempuan Iran

Pemimpin revolusioner Ayatollah Ruhollah Khomeini bersikeras agar perempuan berpakaian modest, menutup semua bagain tubuh.  Ia mengatakan kepada wartawan Italia, Oriana Fallaci dalam sebuah wawancara pada Februari 1979 bahwa “perempuan yang berkontribusi pada revolusi adalah perempuan yang mengenakan pakaian modest.”

Khomeini mengatakan kepada reporter “perempuan genit, yang memakai riasan wajah dan memamerkan leher, rambut, dan tubuh mereka di jalanan, tidak melawan Syah Iran (Mohammad Reza Pahlavi). Mereka tidak melakukan apa pun yang benar. Mereka tidak tahu bagaimana menjadi berguna, juga bagi atau pekerjaan. Dan alasannya adalah karena mereka mengusik dan membuat marah orang dengan mengekspos diri mereka sendiri.”

Segera menjadi jelas bahwa kaum revolusioner Iran ingin mendirikan tatanan sosial yang sangat konservatif. Oleh karena itu, mereka membatalkan langkah Syah Reza Pahlavi untuk menempatkan pengadilan sekuler atas masalah keluarga, alih-alih menjadikannya sebagai hak prerogatif para pemimpin spiritual Iran.

Hak-hak perempuan dan revolusi Iran

“Banyak perempuan menolak kebijakan ini,” kata ilmuwan politik Negar Mottahedeh kepada DW. Buku terbarunya, Whisper Tapes, didasarkan pada pengamatan jurnalis dan feminis AS, Kate Millet, yang melakukan perjalanan di Iran, tak lama setelah revolusi 1979. Ini merinci bagaimana “pengacara, mahasiswa dan pekerja perempuan bertemu untuk membahas hak-hak mereka.”

Dalam karyanya, Mottahedeh mengutip salah satu slogan kunci dari gerakan perempuanpascarevolusi: “Kita tidak melakukan revolusi untuk melangkah mundur.”

Khomeini dan pendukungnya tidak terlalu peduli pada hak-hak perempuan. Dalam pikiran mereka, perempuan Iran harus sangat berlawanan dengan perempuan liberal yang mendapat kebebasan di Barat.

Kaum revolusioner tidak hanya ingin membebaskan Iran dari pengaruh politik dan ekonomi AS selama bertahun-tahun, tetapi juga mempromosikan budaya Islam di kawasan itu.

Cadar menjadi ciri khas dari tatanan baru yang sejatinya kembali ke tatanan lama ini – melambangkan cara hidup Iran yang sangat anti-Barat. “Revolusi Islam berkembang menjadi kontrarevolusi seksual, pertarungan memperebutkan seksualitas perempuan,” tulis ilmuwan politik AS, Hamideh Sedghi dalam laporannya tahun 2007: Women and Politics in Iran: Veiling, Unveiling, and Reveiling.

Seksualitas dengan demikian telah menjadi isu yang sangat dipolitisasi, dengan konotasi anti-Barat yang kuat. Salah satu slogan yang beredar di tahun 1979 adalah: “Pakailah kerudung, atau kami akan memukul kepalamu.” Yang lainnya adalah: “Kematian bagi yang menanggalkan hijab.”

Mempolitisasi tubuh

Khomeini mulai mendesak perempuan untuk memakai kerudung sejak musim semi 1979. Pada tahun 1983, parlemen Iran memutuskan bahwa perempuan yang tidak menutupi rambutnya di muka umum akan dihukum dengan 74 cambukan. Sejak tahun 1995, perempuan yang tidak berjilbab juga bisa dipenjara hingga 60 hari.

Perempuan Iran yang menentang aturan kemudian dicap sebagai “pelacur Barat,” tulis Hamideh Sedghi. Tradisi berkerudung disalahgunakan untuk mempromosikan dan menegakkan citra perempuan Iran sejati, di kalangan luas masyarakat. “Perempuan berpakaian pantas – sebuah norma yang ditetapkan oleh rezim- menjadi pembawa kehidupan religius Iran, negara dan masyarakat pada umumnya,” kata Negar Mottahedeh.

Namun, semakin banyak pria dan perempuan Iran yang menolak ideologi yang dipaksakan oleh pemimpin agama Iran ini. “Perempuan memprotes dengan tidak lagi mengindahkan kode berpakaian,” kata Mottahedeh. “Mereka menunjukkan bahwa mereka ingin mendapatkan kembali kendali atas tubuh mereka sendiri. Memilih bagaimana mereka menata rambut mereka, atau apakah mereka mengecat kuku atau tidak, adalah pilihan mereka.”

Perempuan Iran, katanya, mengadopsi cara baru untuk melakukan protes, dan dengan demikian, memaksa rezim untuk bereaksi. “Hal ini, pada gilirannya, memancing respons dari perempuan Iran. Kebijakan di sekitar tubuh perempuan terus berubah.”

(DW)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here