Kunci Sukses dalam Jurnalisme Investigasi

0
614
Bukan hanya kasus yang membahayakan nyawa wartawan yang ditakuti. Namun, sering wartawan yang dihambat saat bertugas, seperti oleh pengunjuk rasa yang murka, polisi atau pihak berwenang. Pada foto terlihat polisi antihuru-hara Prancis menghadang seorang pekerja pers saat demonstrasi menentang peraturan keamanan yang baru

BarisanBerita.com,- Menggarap laporan investigasi yang berkualitas perlu sumber daya dan pendanaan yang besar. Karenanya, kolaborasi antarmedia menjadi salah satu solusi dalam jurnalisme investigasi.

Laporan investigasi penggelapan pajak dari Konsorsium Jurnalis Investigasi Internasional (ICIJ) yakni Pandora Papers yang merupakan kerja sama antara ratusan wartawan investigasi dari berbagai negara menunjukkan bahwa kolaborasi merupakan salah satu kunci dalam suksesnya jurnalisme investigasi.

Setelah laporan investigasi itu, akan terus muncul proyek-proyek kolaborasi antara wartawan-wartawan investigasi di masa depan, demikian keyakinan Abdul Manan, Ketua Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

“Kebutuhan untuk kolaborasi-kolaborasi itu sepertinya akan semakin penting karena kita tahu bahwa korupsi masih menjadi penyakit laten di kita dan belum ada tanda-tanda sembuh dalam waktu dekat,” kata Manan kepada DW Indonesia.

Kolaborasi, bukan kompetisi

Menggarap laporan investigasi perlu sumber daya dan pendanaan yang besar, serta tidak semua media mampu memikul beban itu sendirian. Oleh karena itu, kerja sama antarmedia menjadi salah satu solusi jurnalisme investigasi.

Sebagai contoh, dalam laporan terbaru Pandora Papers, sedikitnya 600 wartawan dari 117 negara berkolaborasi dalam membongkar nama 35 pemimpin negara dan 330 politisi dari 200 negara yang ternyata menyimpan asetnya di negara surga pajak seperti Bahama, Panama, dan Kepulauan Virgin Britania Raya.

Di Indonesia, kolaborasi juga dilakukan oleh media nasional dan media lokal di berbagai daerah. Pada tahun 2018, misalnya, Tirto dan The Jakarta Post bekerja sama dengan Tabloid Jubi, media lokal dari Papua, dalam menginvestigasi kerusuhan di Wamena. Selain itu, Tirto, The Jakarta Post, Vice Indonesia, dan BBC Indonesia juga berkolaborasi dalam menginvestigasi kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Menurut Anton Septian dari Majalah Tempo, berkolaborasi dengan media lokal seperti Tabloid Jubi sangat penting karena wartawan-wartawan lokal itulah yang sebenarnya paling paham tentang kondisi di daerah masing-masing.

“Kita (media nasional) tertolong. Kita tidak perlu mengirimkan reporter dari Jakarta ke Papua, misalnya, karena di sana sudah ada teman-teman yang menjadi partner kolaborasi kita,” kata Anton kepada DW Indonesia.

Sementara bagi Fahri Salam, editor Project Multatuli, saat ini bukan lagi era berkompetisi, tetapi era berkolaborasi. “Kami tidak bangga dengan eksklusivisme. Kami lebih senang ketika rekan itu setara dan kolaborasi juga setara. Informasi harus diakses sama-sama,” ujar Fahri kepada DW Indonesia.

Kerja sama antarmedia juga terlihat dalam kasus penerbitan kembali laporan investigasi Project Multatuli tentang pengabaian polisi atas laporan kekerasan seksual di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Setelah menerbitkan laporan tersebut, pada Rabu (06/10) laman internet Project Multatuli diretas. Sejumlah media kemudian memutuskan untuk menerbitkan ulang laporan yang pada saat itu tidak bisa diakses dan diberi label hoaks atau informasi bohong.

Tidak sekadar ciptakan konten

Fahri mengatakan bahwa di balik kolaborasi itu ada nilai yang sama-sama diperjuangkan, yakni independensi dalam membela kepentingan publik. Independensi itulah yang membedakan jurnalisme investigasi dengan pencipta konten dan YouTuber yang jumlahnya semakin menjamur di era media sosial seperti saat ini.

“Jika kamu hanya sekadar memberi informasi, apa bedanya kamu dengan content creator? Kalau kamu hanya sekadar wawancara, apa bedanya kamu dengan YouTuber?” kata Fahri. “Kami (wartawan investigasi) berbeda dengan mereka karena kami mengungkap kejahatan dan kami juga tidak bisa dibayar.”

Karena melewati proses verifikasi data, penggalian informasi lebih dalam, dan pengungkapan hal-hal terselubung, jurnalisme investigasi mampu menunjukkan relevansinya di era media sosial seperti saat ini.

“Di sinilah pentingnya jurnalisme investigasi karena dia bisa membongkar peristiwa lapis demi lapis sampai kemudian bisa menjawab pertanyaan paling pokok yang berkaitan dengan kepentingan publik lebih luas,” ujarnya.

Apa tujuan jurnalisme investigasi?

Jurnalisme investigasi bertujuan untuk menemukan kebenaran jurnalistik, demikian menurut Anton Septian dari Majalah Tempo. Menurutnya, kebenaran jurnalistik berbeda dengan kebenaran hukum, dan kebenaran jurnalistik itu penting karena bisa mendekati kebenaran materiil.

“Tempo merawat tradisi investigasi karena kita meyakini bahwa di balik peristiwa-peristiwa yang kita tahu setiap hari, ada selubung-selubung fakta yang kita harus kupas untuk menunjukkan kebenaran jurnalistik,” kata Anton kepada DW Indonesia.

Senada dengan Anton, Fahri Salam, editor Project Multatuli, mengatakan bahwa tugas jurnalis ialah memantau kekuasaan. Oleh karena itu, isu-isu yang diangkat di dalam laporan investigasi ialah isu-isu yang menyangkut kepentingan masyarakat, seperti korupsi, kejahatan lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual.

Laporan investigasi Project Multatuli tentang kekerasan seksual di Luwu Timur, misalnya, tidak hanya bertujuan agar korban mendapatkan keadilan, tetapi juga agar publik ikut berpartisipasi dalam mengawasi kasus-kasus kejahatan seksual.

“Laporan kami sebetulnya tidak ‘menembak’ ke satu individu, tetapi ke satu institusi (kepolisian) karena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Luwu Timur saja. Sangat sering kita mendengar polisi mengabaikan laporan-laporan dugaan pemerkosaan atau kejahatan seksual,” katanya.

Mahal dan rentan intimidasi

Menurut Fahri Salam dari Project Multatuli dan Anton Septian dari Majalah Tempo, pengerjaan laporan investigasi itu relatif lebih sulit dari pada bentuk laporan jurnalistik lainnya, seperti in-depth report atau laporan mendalam, karena terbatasnya waktu dan dana, serta sulitnya akses untuk mengumpulkan informasi sebagai bahan laporan.

“Ada kesabaran kita yang diuji dan ada sumber daya yang lebih besar yang diperlukan,” kata Anton. Karena itu, di Majalah Tempo, laporan investigasi mungkin terbit hanya sekali dalam sebulan atau tiga bulan. “Sering kali investigasi itu mentok ketika kita tidak mendapatkan bukti yang diperlukan,” kata Anton.

Tantangan lain ialah tekanan, teror, dan penganiayaan yang mungkin dihadapi wartawan setelah laporan investigasi dipublikasi.

“Kemarin malam kami mendengar bahwa laporan kami (tentang kekerasan seksual di Luwu Timur) digugat oleh terduga pelaku. Saya dan penulisnya juga akan dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik,” kata Fahri.

Absennya perlindungan pemerintah

Abdul Manan, Ketua Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI), mengakui belum ada perlindungan dari pemerintah terhadap wartawan-wartawan investigasi di Indonesia. Manan bercerita bahwa dirinya pernah dilaporkan ke polisi secara pidana dan digugat secara perdata pada tahun 2018 karena laporan investigasi dari proyek Indonesia Leaks yang ia inisiasi. Sedangkan kawan-kawannya di proyek itu juga diintimidasi.

“Sebenarnya, kita ini, wartawan-wartawan investigasi dan media-media yang mendukung liputan investigasi, sangat rentan terhadap intimidasi dan gugatan hukum,” katanya.

Meskipun demikian, Manan mengaku tidak heran dengan sikap pemerintah yang enggan melindungi wartawan investigasi karena yang menjadi objek investigasi tidak jarang adalah orang yang tengah atau pernah menduduki jabatan publik.

Meski tidak dilindungi oleh pemerintah, masih banyak wartawan memiliki idealisme tinggi di dalam menjalankan profesinya, kata Manan. Ia menjelaskan bahwa mengawasi kinerja pemerintah, mengoreksi kesalahan, dan mengekspos kejahatan-kejahatan yang berusaha disembunyikan merupakan bagian dari upaya kontrol sosial yang dilakukan oleh wartawan.

“Saya kira akan selalu ada wartawan-wartawan idealis. Mereka bukannya tidak takut, tapi idealismenya lebih tinggi dari pada ketakutannya,” kata Manan kepada DW Indonesia.

(World news, DWCJI)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here