Mantan Kepala BIN: Tidak Boleh Ada Demokrasi di Tentara

15
1087
Tentara Nasional Indonesia

33 tahun jelas bukanlah waktu yang sebentar bagi Jenderal TNI (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono, berkiprah bersama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Tak hanya kenyang pengalaman tempur, pria 75 tahun ini juga dikenal sebagai sosok “Raja Intelijen” Indonesia.

VIVA Militer mengamati video perbincangan yang diunggah akun Youtube resmi jurnalis senior, Karni Ilyas. Dalam perbincangan itu, Hendropriyono berbicara soal bagaimana seorang prajurit TNI, Polri, dan Aparatur Sipil Negara (ASN), wajib menjunjung tinggi institusinya.

Apa yang diucapkan oleh Hendropriyono ini tak lepas dari permasalahan radikalisme yang marak akhir-akhir ini. Seperti yang diketahui, pada 10 November 2020 lalu, ada seorang prajurit TNI Angkatan Darat yang diketahui bernama Kopral Dua (Kopda) Asyari Tri Yudha, mengelu-elukan nama Habib Muhammad Rizieq Shihab.

Anggota Batalyon Zeni Konstruksi (Yonzikon) 11/Durdhaga Wighra (DW) membuat geger saat meneriakkan dukungan saat Habib Muhammad Rizieq Shihab pulang ke Indonesia. Alhasil, Asyari pun dijatuhi sanksi Hukuman Disiplin Militer karena dianggap melakukan pelanggaran Disiplin Militer.

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu dengan tegas memastikan bahwa anggota TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara, seharusnya menjunjung tinggi institusinya sendiri, dan bukan orang lain.

“Mestinya, prajurit tentara, polisi, pegawai negeri sipil, (berteriak) ‘hidup’ (untuk) atasannya sendiri, bukan orang lain. Kalau orang lain, emang lu kerja di mana?” ucap Hendro Priyono.

Lebih dari itu, jebolan Akademi Militer (Akmil) 1967 ini juga menegaskan, bahwa bagi TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara, tidak berlaku prinsip demokrasi. Terutama bagi prajurit TNI, Hendropriyono mengatakan bahwa prinsip demokrasi bisa membuat bahaya bagi institusi. Hal itu dijelaskan Hendropriyono langsung kepada Karni.

“Kalau tentara, polisi, pegawai negeri sipil, tidak ada demokrasi. Demokrasi itu yang ada di politik, di masyarakat sipil. Tapi kalau aparat pemerintah, enggak boleh. Apalagi tentara, kalau tentara demokrasi perang pasti kalah,” ujar Hendropriyono.

“Bagaimana kalau Pak Karni komandan saya suruh saya, ‘kamu tabrak itu benteng’. ‘Wah kenapa harus saya pak? Kenapa enggak yang lain?’ Gimana bisa demokrasi, enggak bisa, enggak boleh tentara ada demokrasi,” katanya.

(VivaMiliter)

15 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here